Cuaca Jogja sedang tidak menentu! Angin kencang, siang terik, malam hujan! Akhirnya sukseslah saya terserang flu berat. Terlebih jadwal reportase yang padat kerap diimbangi jadwal mudik sejak akhir Januari. Saya jadi tak berkutik tatkala pacar saya mengejek saya sebagai orang yang selalu diburu waktu. Buuuh! enak saja! ini konsistensi yang harus ditaati seorang reporter muda ya! aheheh :p
Pak Bos telah berbaik hati mengizinkan saya istirahat sementara waktu, tapi kedatangan seorang sahabat, memberi vitamin baru bagi sore saya. Yeeee Tijar datang! Ditengah gigil demam dan hidung mampet, saya rela menembus sore Malioboro buat menyambangi orang jenaka ini.
"Temui aku di depan BI!,"kata Tijar singkat waktu saya telepon. Seolah kesambet Valentino Rosi, motor saya pacu kencang menuju BI. Bodohnya, saya lewat Jl. Malioboro, seingat saya BI ada di depan Mirota Batik. Gludak! Efek flu memang melunturkan sebagian besar memori terbaik otak saya....kena macet deh di Malioboro!!!!
Singkat cerita, saya berhasil menemukan Tijar setelah joget gila dipinggir jalan sambil telepon dirinya.
"Jar, ini lhoh aku yang joget aneh di pinggir jalan, pakai helm merah!"jelas saya gemas karena keberadaan saya tak terdeteksi. BI kan luaaaaaas.......wajar juga sih kalau Tijar susah menemukan saya, dia kan 'rabun senja' hihi.
KAGEEEEET! Tengkiu Tuhan, ada pula Deni dan Gladys, sahabat sekampus yang lama tak kelihatan batang hidungnya.
Rupanya Tijar yang sekarang berprofesi sebagai guru seni budaya di SMP 1 Mrebet sedang studi tour bareng guru seni budaya se-Purbalingga. Berhubung waktu istirahat sore, Tijar minta kita menemani beli bakpia buat oleh-oleh.
"Satu kardus berapa mbak?" tanya Tijar pada mbak penjual di salah satu toko bakpia.
"Tiga puluh ribu mas,"
"Wah, yang lebih murah ada?"
"Ada, dua puluh lima ribu,"
"Yang dua puluh ribuan deh, saya beli dua kardus buat oleh-oleh kantor!" kata Tijar mulai ngaco.
"Emang ada berapa orang di kantor?" potong saya heran.
"Enam puluh. Ntar makannya dicuil-cuil,"jawabnya asal bikin mbak penjual yang kelihatannya pendiam tiba-tiba ikut ngakak rame-rame.
Sukses dapat bakpia!!!
Mungkin karena kasihan sama anak kos, Tijar ngajak kita makan di J.Co. Sudah pastilah makhluk unik ini berperilaku ganjil selama di Malioboro Mall. mulai dari pengin beli donat J.Co pakai kantung plastik biar murah hingga minta foto bareng patung di etalase toko. Dirinya sungguh lamban menyadari beberapa satpam Maliobaro Mall memantau perilaku ganjilnya dari lantai satu hingga lanti dua!!!
Neon box J.Co andai dijual, Tijar beli!
Mirip maho lagi ngedate yah! hihi
Trio Shio Naga!
Tijar, me, Deni
Pose yang bikin satpam curiga!
Pukul delapan malam Tijar mengajak kami nonton sendratari Ramayana di Puri Wisata. Oh WOW, kami juga terbebas dari tiket Rp 160 ribu per pengunjung, dan asyiknya saya dapat satu topik reportase... ^~^
Shinta dan Kresna mengapit pembantunya! :p
Tijar mengenalkan saya dengan seorang pak guru seni budaya SMP 2 Purbalingga, Pak Sri Kusnoto. Guru yang juga berprofesi sebagai koordinator studi tour tersebut menuturkan alasan mereka ke Yogya adalah untuk mempelajari seni tradisi yang masih kental, tari-tarian klasik misalnya. Jika menilik Purbalingga, kabupaten tersebut sebenarnya memiliki potensi dan iklim seni yang kuat, khususnya dalam hal kreasi. Di Yogya pengajar-pengajar seni budaya tingkat SMP se-Purbalingga ingin menyaksikan perkembangan seni secara luas dan kolaborasi dari setiap bidang seni.
"Guru seni budaya harus menguasai dasar-dasar bidang seni yang diajarkannya,"kata Pak Sri (9/2). Mantaaaaaaffff deh! Salut pada bapak-ibu guru yang mau jauh-jauh ke Yogya buar mengemas pengetahuan baru bagi murid-muridnya.
Tijar dan Pak Sri
Selain menyaksikan keindahan sendratari, rombongan studi tour juga mengunjungi Yayasan Bagong Kusudiharjo, SMK kejuruan seni di Bantul, dan kediaman pelukis kenamaan Yogya, Joko Pekik. Wah, lengkap nih oleh-oleh yang bakal ditransfer ke sekolah.
Tingkah Tijar memang tak jauh beda dengan terakhir dia masih tinggal di Yogya, tapi cara pandangnya jauh lebih dewasa. Kadang saya berpikir, berapa orang mahasiswa sih yang dengan tulus ikhlas mau balik kampung untuk memajukan tanah kelahirnya? terlebih harus menjalani kewajibannya dengan saleh sebagai seorang pengajar honorer.
Satu-satu teman saya jadi guru. Deni apalagi, belum lulus kuliahpun dia sudah menyerahkan jiwa-raganya pada dunia pendidikan. Sekolah tempat dia mengajar harus ditempuh dengan puluhan kilo meter dan honor yang tak seberapa. Saya ingat bagaimana awal mula mengajar, Deni terus-terusan dirundung gelisah.
"Aku rasanya nggak kuat. Jam mengajar padat, jauh, ongkos jalan dan biaya buat beli media praktik jauh lebih besar dari honor. Bingung, aku terlanjur sayang sama anak-anak. Banyak yang nggak seberuntung aku,"kisahnya.
Nusantara pasti gemerlap andai ada berjuta-juta Tijar dan Deni! C:
Gladys juga siap pulang dan menanamkan pengetahuannya di tanah Lombok.
Hiks! Mereka pahlawan muda!
Saya belum mampu seperti mereka....saya tidak tahan suasana 'birokratis' di sekolah meski saya juga senang mengajar. Saya lebih suka mengajar dalam suasana yang bebas seperti ketika saya turut membantu anak-anak di Dusun Srunen belajar. Bukan sebagai guru sih, hanya pendamping belajar, tapi saja rasanya lebih intim dengan anak-anak.
Semoga Tuhan melayarkan perahu saya kembali ke dunia tersebut. Sekarang, saya ingin khusyuk menjalani hari-hari saya di media. Saya harus setia pada pilihan! Ini bukan akhir cita-cita saya. Saya muda, dan dunia terlampau luas! C:
Sebelum pulang Tijar sempat berkata, jadi guru harus menepikan idealisme. Tidak semua yang kita peroleh di bangku kuliah dapat diaplikasikan. Harus disesuaikan dengan kurikulum.
Demikian juga kapasitas diri saya, harus terus disesuaikan dengan cita-cita! Terus melangkah yoooook!