Minggu, 12 Februari 2012

I Love U, Neel

...Oh bunda ada dan tiada dirimu
 Kan slalu ada di dalam hatiku...

Bunda by Melly Goeslaw

Baby Neel.... :)


Puji Tuhan, keponakan saya tambah satu lagi jelang akhir 2011 lalu. Neelam Alisya Guntoro, cantik mirip sang bunda, Lisya Windari Aziz. Tiap kali menatap matanya, seolah sebuah telaga tersimpan di dalamnya. Bening dan jernih. Begitu polos dan tulus. Membuat saya kerap didera kangen. Neelam kecil, kini baru bisa berceloteh. Tidak begitu cerewet. Hanya matanya teduh senantiasa memburu, seolah hanya dengan memandang, dia mampu membaca kehidupan.

Neelam (Januari, 2012)

Takjub. Setiap kali melihat Nelaam, seolah saya bisa meraba wajahnya ketika dewasa. Hahaha mungkin hanya kelebihan imajinasi, entahlah, saya bukannya menemukan keajaiban pada Neelam, tapi gadis kecil ini seolah mengajak saya lebih terbuka pada kealamiahan. Kehidupan yang wajar dan natural. Ketinggian Tuhan. Kesedarhanaan yang indah. Juga penerimaan dan bahagia. 

Melihat Neelam membuka pintu masa lalu. Teringat masa bundanya remaja. Kala itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Sejuta syukur Tuhan memberi saya kesempatan tumbuh dengan kasih sayang ekstra, dari kedua orang tua saya dan keluarga Aminudin Aziz. Tiap kali melongok masa kanak-kanak, saya melihat kesempatan bermain dan belajar yang luar biasa. Penuh cinta dan kebersamaan.

Mbak Lisya kecil dan Neelam kecil:
MIRIP!

Suatu masa nanti Tuhan, berilah kehidupan yang bercahaya pada Neel kecil... 
Jadikan jalannya penuh limpahan kasih dan ilmu...
Amin

Sabtu, 11 Februari 2012

Kangen Mendaki Gunung


Pagi ini saya masih menunggu rekan saya dari salah satu televisi lokal menuju lokasi reportase. Ketimbang ngungun, saya mencoba memikirkan sesuatu hal sembari bongkar-bongkar laptop pacar. Oh Dear, saya menemukan foto ini!

Break: Sumbing 2011

Rasa kangen tiba-tiba mendera, ingin rasanya saya berlari kebeberapa bulan silam dan menemukan wajah saya yang sedikit lebih muda. Yeah, saya kangen ngumpul dengan kawans Break (mapala yang anggotanya mahasiswa yang suka proses bareng di FBS UNY). Sumbing jadi pendakian terakhir saya tahun 2011, bulan apa, saya lupa. Entah di mana sekarang sepatu yang biasanya saya pakai ketika mendaki... :(

Kenangan, alangkah manisnya! Sumbing adalah salah satu gunung di Jawa Tengah yang dua kali saya daki. Pertama, kelas 2 SMA, tahun 2004! Hahahahaha lama sekali rasanya..... sayang waktu itu camera digital masih jadi barang SUPEEEEER MAHAL dan jarang yang punya, apalagi di kota kecil saya, Wonosobo. Itu kali kedua saya mendaki gunung, masih bersawa kawans SASPALA (Sardula Arga Sapala SMA 1 Wonosobo). Tiap kali mendaki, pasti ada sahabat saya Anggia yang kini tengah menanti kelahiran anak pertamanya. Anggi itu periang dan kocak sekali, kami suka kompakan dalam beberapa hal, bahkan sering diledekin anak kembar sejak kami duduk di bangku SMP. Saya yakin, kalau baca tulisan ini Anggi bakal cekikikan sendiri. bukan terkenang Sumbing-nya, tapi cinta monyet jaman SMA....halaaaaah lewat ah!


Naik yoh naiiiik!

Balik ke Braek, bertujuh kami mendaki waktu itu. Sayang cuaca tidak mendukung, dua malam kami bertahan tanpa mencapai puncak karena terjangan badai.Para cowok (5 orang) nekat menembus badai. Tinggalah saya dan Nila yang meringkuk berdua dalam tenda (lokasi di pasar setan) sambil terus banjir doa! Hwahahahaha  Suara badai di gunung seram sekali kedengarannya, seolah sanggup melumat tenda kami dan menggulungnya ke dasar jurang. Syukurlah, menjelang Maghrib beberapa kerlip senter tampak menuruni lereng di atas tenda kami, tanda rombongan telah kembali.

 Tepar bebas!
(Bang Nara-tshirt putih; duduk: Paman Bayu, Nila, me;
berdiri: Bang Syat, QiQi; tepar-Mas Fajar) 

Wuuuuuh lepaskan semua derita di Yogya!

Saya masih berharap, di tengah deru rutinitas yang seolah tak bercelah, pada sebuah waktu yang dikemas manis oleh Tuhan, saya akan mendaki kembali! Desau angin, padang ilalang, keringat di dahi, rusuk yang gigil, secangkir kopi buat rame-rame.....ah! begitu mengesankan!

My Lovely 'S'
(Muhammad Shodiq)
Pacar saya, penyemangat saya agar terus mendaki gunung tanpa purna, 
bernama cita-cita

  Usia terus saja bertambah. Kenangan tak melulu dari hal-hal yang kita harapkan. Saya sadar itu. Tuhan akan selalu membawa saya menyelami kehidupan lebih dalam lagi, melihatkan warna-warna yang tak pernah terbesit dalam benak saya. Mengukuhkan kembali, bahwa saya pernah muda....masih muda, dan suatu saat, jika saya panjang umur, blog ini adalah warisan bagi anak cucu saya. Blog sederhana, berisi kepingan kenangan dan segudang chemistry....

QiQi dan perenungannya....

Bahwa kehidupan akan selalu memberi sisa dari perjalanan yang telah saya lewatkan. Pada suatu masa nanti, chamistry-lah yang akan menautkan masa itu dengan masa lalu.



Pahlawan Muda, Sahabat Sableng Saya! :D

Cuaca Jogja sedang tidak menentu! Angin kencang, siang terik, malam hujan! Akhirnya sukseslah saya terserang flu berat. Terlebih jadwal reportase yang padat kerap diimbangi jadwal mudik sejak akhir Januari. Saya jadi tak berkutik tatkala pacar saya mengejek saya sebagai orang yang selalu diburu waktu. Buuuh! enak saja! ini konsistensi yang harus ditaati seorang reporter muda ya! aheheh :p

Pak Bos telah berbaik hati mengizinkan saya istirahat sementara waktu, tapi kedatangan seorang sahabat, memberi vitamin baru bagi sore saya. Yeeee Tijar datang! Ditengah gigil demam dan hidung mampet, saya rela menembus sore Malioboro buat menyambangi orang jenaka ini.

"Temui aku di depan BI!,"kata Tijar singkat waktu saya telepon. Seolah kesambet Valentino Rosi, motor saya pacu kencang menuju BI. Bodohnya, saya lewat Jl. Malioboro, seingat saya BI ada di depan Mirota Batik. Gludak! Efek flu memang melunturkan sebagian besar memori terbaik otak saya....kena macet deh di Malioboro!!!!

Singkat cerita, saya berhasil menemukan Tijar setelah joget gila dipinggir jalan sambil telepon dirinya.
"Jar, ini lhoh aku yang joget aneh di pinggir jalan, pakai helm merah!"jelas saya gemas karena keberadaan saya tak terdeteksi. BI kan luaaaaaas.......wajar juga sih kalau Tijar susah menemukan saya, dia kan 'rabun senja' hihi.

KAGEEEEET! Tengkiu Tuhan, ada pula Deni dan Gladys, sahabat sekampus yang lama tak kelihatan batang hidungnya.

Rupanya Tijar yang sekarang berprofesi sebagai guru seni budaya di SMP 1 Mrebet sedang studi tour bareng guru seni budaya se-Purbalingga. Berhubung waktu istirahat sore, Tijar minta kita menemani beli bakpia buat oleh-oleh.
"Satu kardus berapa mbak?" tanya Tijar pada mbak penjual di salah satu toko bakpia.
"Tiga puluh ribu mas,"
"Wah, yang lebih murah ada?"
"Ada, dua puluh lima ribu,"
"Yang dua puluh ribuan deh, saya beli dua kardus buat oleh-oleh kantor!" kata Tijar mulai ngaco.
"Emang ada berapa orang di kantor?" potong saya heran.
"Enam puluh. Ntar makannya dicuil-cuil,"jawabnya asal bikin mbak penjual yang kelihatannya pendiam tiba-tiba ikut ngakak rame-rame.

Sukses dapat bakpia!!!


Mungkin karena kasihan sama anak kos, Tijar ngajak kita makan di J.Co. Sudah pastilah makhluk unik ini berperilaku ganjil selama di Malioboro Mall. mulai dari pengin beli donat J.Co pakai kantung plastik biar murah hingga minta foto bareng patung di etalase toko. Dirinya sungguh lamban menyadari beberapa satpam Maliobaro Mall memantau perilaku ganjilnya dari lantai satu hingga lanti dua!!!

Neon box J.Co andai dijual, Tijar beli!

Mirip maho lagi ngedate yah! hihi

Trio Shio Naga!

 Tijar, me, Deni

 Pose yang bikin satpam curiga!

Pukul delapan malam Tijar mengajak kami nonton sendratari Ramayana di Puri Wisata. Oh WOW, kami juga terbebas dari tiket Rp 160 ribu per pengunjung, dan asyiknya saya dapat satu topik reportase... ^~^

Shinta dan Kresna mengapit pembantunya! :p

Tijar mengenalkan saya dengan seorang pak guru seni budaya SMP 2 Purbalingga, Pak Sri Kusnoto. Guru yang juga berprofesi sebagai koordinator studi tour tersebut menuturkan alasan mereka ke Yogya adalah untuk mempelajari seni tradisi yang masih kental, tari-tarian klasik misalnya. Jika menilik Purbalingga, kabupaten tersebut sebenarnya memiliki potensi dan iklim seni yang kuat, khususnya dalam hal kreasi. Di Yogya pengajar-pengajar seni budaya tingkat SMP se-Purbalingga ingin menyaksikan perkembangan seni secara luas dan kolaborasi dari setiap bidang seni.
"Guru seni budaya harus menguasai dasar-dasar bidang seni yang diajarkannya,"kata Pak Sri (9/2). Mantaaaaaaffff deh! Salut pada bapak-ibu guru yang mau jauh-jauh ke Yogya buar mengemas pengetahuan baru bagi murid-muridnya.

Tijar dan Pak Sri

Selain menyaksikan keindahan sendratari, rombongan studi tour juga mengunjungi Yayasan Bagong Kusudiharjo, SMK kejuruan seni di Bantul, dan kediaman pelukis kenamaan Yogya, Joko Pekik. Wah, lengkap nih oleh-oleh yang bakal ditransfer ke sekolah.

Tingkah Tijar memang tak jauh beda dengan terakhir dia masih tinggal di Yogya, tapi cara pandangnya jauh lebih dewasa. Kadang saya berpikir, berapa orang mahasiswa sih yang dengan tulus ikhlas mau balik kampung untuk memajukan tanah kelahirnya? terlebih harus menjalani kewajibannya dengan saleh sebagai seorang pengajar honorer.

Satu-satu teman saya jadi guru. Deni apalagi, belum lulus kuliahpun dia sudah menyerahkan jiwa-raganya pada dunia pendidikan. Sekolah tempat dia mengajar harus ditempuh dengan puluhan kilo meter dan honor yang tak seberapa. Saya ingat bagaimana awal mula mengajar, Deni terus-terusan dirundung gelisah.
"Aku rasanya nggak kuat. Jam mengajar padat, jauh, ongkos jalan dan biaya buat beli media praktik jauh lebih besar dari honor. Bingung, aku terlanjur sayang sama anak-anak. Banyak yang nggak seberuntung aku,"kisahnya.

Nusantara pasti gemerlap andai ada berjuta-juta Tijar dan Deni! C:
Gladys juga siap pulang dan menanamkan pengetahuannya di tanah Lombok.
Hiks! Mereka pahlawan muda!

Saya belum mampu seperti mereka....saya tidak tahan suasana 'birokratis' di sekolah meski saya juga senang mengajar. Saya lebih suka mengajar dalam suasana yang bebas seperti ketika saya turut membantu anak-anak di Dusun Srunen belajar. Bukan sebagai guru sih, hanya pendamping belajar, tapi saja rasanya lebih intim dengan anak-anak.

Semoga Tuhan melayarkan perahu saya kembali ke dunia tersebut. Sekarang, saya ingin khusyuk menjalani hari-hari saya di media. Saya harus setia pada pilihan! Ini bukan akhir cita-cita saya. Saya muda, dan dunia terlampau luas! C:

Sebelum pulang Tijar sempat berkata, jadi guru harus menepikan idealisme. Tidak semua yang kita peroleh di bangku kuliah dapat diaplikasikan. Harus disesuaikan dengan kurikulum.

Demikian juga kapasitas diri saya, harus terus disesuaikan dengan cita-cita! Terus melangkah yoooook!

Malam Pertama di Istana Timun

Oh My....Oh My God!
Entah bagimana saya membaca garis yang ditakdirkan Tuhan. Lantaran dilarang putus asa atas serentetan nasib apes, saya memotivasi diri sebagai manusia berkekuatan kancil yang sakti! Kenapa? Karena kancil masa kini nggak boleh lari dari kejaran Pak Tani, sebab 'kancil mencuri timun' cuma ada dalam dongeng. Well ya, sekarang 2012! Kancil harus mengerahkan tenaga menerjang arus globalisasi demi jayanya nusantara! MERDEKAAAAA!